BERSIKAP ADIL KEPADA PENGUASA DZALIM
Oleh: Ustdz Abdurrahman Toyyib,
Lc
Islam adalah din yang sempurna mencakup berbagai bidang
kehidupan dunia. Islam bukan hanya mengajarkan kepada kita bagaimana sholat,
puasa, zakat, jual beli, tapi Islam juga mengajarkan bagaimana kita bersikap
kepada penguasa kaum muslimin baik yang adil maupun yang dzalim, baik yang
berhukum dengan hukum Allah atau yang berhukum dengan undang-undang buatan
manusia. Salah dalam menerapkan sikap kepada penguasa dapat mengakibatkan
kerusakan, pemberontakan, pertumpahan darah, dan akibat buruk lainnya. Allah
ta'ala telah memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin kaum muslimin selama
dalam kebaikan lewat firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan
ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri [1] di antara kamu." (QS.An-Nisa'
: 59)
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
وَمَن يُطع الأمير فقد أطاعني ومن يعص الأمير فقد عصاني
"Barangsiapa yang mentaati pemimpin maka dia telah
mentaatiku dan barangsiapa yang memaksiati pemimpin maka dia telah memaksiatiku."
(HR.Muslim)
Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat serta para
ulama salaf ahlussunnah wal jama'ah telah menjelaskan dengan terang benderang
bagaimana kita bermuamalah dengan para penguasa yang dzalim yang tidak berhukum
dengan selain hukum Allah. Berikut ini sebagian dari wasiat Rasul shallallahu
'alaihi wa sallam dan para ulama salaf, semoga bisa menyinari mereka yang
tengah berada di kegelapan pemikiran Khawarij dan ahli bid'ah.
**Wasiat Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bersikap
adil kepada penguasa dzalim
1. Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyeru kami untuk
membaiat beliau, diantara isi baiat tersebut adalah kami (diwajibkan) untuk
selalu mendengar dan taat (kepada pemimpin kaum muslimin) dalam keadaan susah
maupun senang, dalam keadaan suka dan duka, dan agar kami mendahulukan hak
mereka serta tidak memberontak kepada mereka. Beliau bersabda: Kecuali jika
kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki bukti yang jelas dari
Allah tentangnya." [2]
2. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata:
Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Barangsiapa yang
melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari pemimpinnya maka hendaklah dia
bersabar atasnya, karena tidaklah ada yang keluar dari jamaah kaum muslimin
sejengkal saja lalu dia mati melainkan mati dalam keadaan jahiliyah." [3]
3. Dari 'Auf bin Malik radhiyallahu 'anhu dia berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: "Ketahuilah bahwa
kalau seseorang melihat sang penguasanya berbuat maksiat maka hendaklah dia
membenci kemaksiatannya dan tidak boleh untuk dia memberontak kepadanya."
[4]
4. Dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu 'anhu dia berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
"Akan muncul sepeninggalku nanti para pemimpin yang
tidak mengikuti petunjukku dan tidak menelusuri jejakku dan akan muncul pula
diantara kalian orang-orang yang berhati setan dalam tubuh manusia. Aku
berkata:
"Apa yang harus saya perbuat jika saya menemui hal
tersebut?" Beliau menjawab: "Engkau wajib mendengar dan taat kepada
pemimpin meskipun dia memukul punggungmu dan merampas hartamu, dengar dan
taatilah." [5]
5. Dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha beliau berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: "Akan muncul
ditengah umat ini sepeninggalku nanti para umara'/pemimpin yang kalian
mengetahui dan akan mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkari maka telah
gugur kewajibannya dan barangsiapa yang membenci (kemaksiatan tersebut) maka
dia telah selamat. Tapi barangsiapa yang ridha dan mengikuti (kemaksiatan maka
dia berdosa). Para sahabat bertanya: Apakah boleh kita memeranginya dengan
senjata? Beliau menjawab: Tidak, selama mereka mendirikan shalat diantara
kalian." [6]
**Wasiat ulama salaf untuk bersikap adil kepada penguasa
dzalim
1. Dari Suwaid bin Ghaflah dia berkata: Umar bin Khaththab
radhiyallahu 'anhu pernah berkata kepadaku: Wahai Abu Umayyah, sesungguhnya aku
tidak tahu apakah aku masih bisa bertemu denganmu tahun yang akan datang. Jika
engkau dipimpin oleh seorang budak Ethiopia yang keriting rambutnya maka dengar
dan taatilah dia. Jika dia memukulmu maka bersabarlah dan jika dia membakarmu
maka bersabarlah dan apabila dia ingin mengurangi agamamu maka katakanlah: Aku
mendengar dan taat dan darahku demi agamaku dan janganlah engkau keluar dari
jamaah kaum muslimin." [7]
2. Dari Nafi', dia berkata: Ketika manusia memberontak kepada
Yazid bin Mu'awiyah, Abdullah bin Umar mengumpulkan keluarganya lalu beliau bertasyahud
seraya berkata: Amma ba'du, Sesungguhnya kita telah membaiat Yazid karena Allah
dan Rasul-Nya. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda: orang yang berbuat curang akan ditancapkan benderanya pada
hari kiamat kelak dan akan diumumkan: inilah perbuatan curang si fulan.
Sesungguhnya kecurangan yang paling besar setelah syirik kepada Allah adalah
seseorang yang telah membaiat sang pemimpin karena Allah dan Rasul-Nya lalu dia
membatalkan baiatnya tersebut. Maka janganlah kalian memberontak kepada Yazid
dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam masalah apapun." [8]
3. Berkata Hasan Al-Bashri rahimahullahu: "Mereka para
penguasa meskipun (berbuat dzalim), Akan tetapi kebenaran mewajibkan kita untuk
mentaati mereka dan kita dilarang untuk memberontak terhadap mereka. Kita hanya
diperintahkan untuk menolak keburukan mereka dengan berdoa dan bertobat.
Barangsiapa yang menginginkan kebaikan maka dia akan melaksanakan hal ini dan
tidak akan menyelisihinya". [9] Beliau juga berkata: "Demi Allah
seandainya manusia mau bersabar apabila diuji dengan pemimpin (yang dzalim)
maka tidaklah ujian itu akan berkepanjangan. Akan tetapi banyak orang yang
lebih senang untuk memberontak maka Allah pun menyerahkan mereka kepada pedang-pedang
mereka. Demi Allah mereka tidak bisa mendatangkan suatu hari yang lebih baik
dari sebelumnya." [10]
4. Hambal rahimahullahu pernah berkata: "Para fuqaha'
Baghdad berkumpul pada zaman Khalifah Al-Watsiq kepada Abu Abdillah (Ahmad bin
Hambal) dan mereka berkata kepada beliau: Sesungguhnya ucapan bahwa Al-Qur'an
adalah makhluk telah menyebar dan membesar. Dan kita tidak rela dengan
kekuasaan dan kepemimpinannya. Imam Ahmad pun kemudian menasehati mereka seraya
berkata: Yang wajib bagi kalian adalah mengingkari dengan hati-hati kalian dan
janganlah kalian memberontak serta memecah belah barisan kaum muslimin. Jangan
kalian menumpahkan darah kalian dan darah kaum muslimin. Lihatlah akibat semua
yang akan kalian lakukan dan bersabarlah hingga orang yang baik menjadi tentram
dan yang fajir dihilangkan. Beliau juga berkata: Melakukan pemberontakan
bukanlah suatu hal yang benar bahkan hal itu menyelisihi atsar". [11] Imam
Ahmad juga berkata: "Wajib untuk kita mendengar dan taat kepada para
penguasa kaum muslimin yang baik maupun yang dzalim…Berjihad bersama para
penguasa yang baik maupun yang dzalim sampai hari kiamat…Barangsiapa yang
memberontak penguasa kaum muslimin, yang manusia bersatu di bawah benderanya
dan menyetujui akan kekhalifahannya baik dengan ridha maupun penaklukan maka
orang khowarij ini telah memecah belah persatuan kaum muslimin dan telah
menyelisihi atsar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika orang
khawarij/pemberontak ini mati maka dia mati dalam keadaan jahiliyah. Diharamkan
bagi siapapun juga memberontak dan memerangi penguasa. Barangsiapa yang
melakukan pemberontakan maka dia adalah seorang mubtadi'/ahli bid'ah bukan
diatas sunnah." [12]
5. Muhammad bin Husein Al-Ajurri rahimahullahu berkata:
"Aku telah menyebutkan peringatan atas kelompok Khawarij yang sudah cukup
sebagai pelajaran bagi orang yang dilindungi oleh Allah dari (bahaya) mereka
dan dia tidak berpendapat dengan pendapat mereka, dia bersabar terhadap
kedzaliman dan kecurangan para penguasa, tidak memberontak terhadapnya, dia
memohon kepada Allah agar mengentas kedzaliman darinya dan dari kaum muslimin,
dia mendoakan bagi para penguasa dengan kebaikan, berhaji bersama mereka dan
berjihad bersama mereka melawan musuh dan diapun shalat jumat maupun ied
dibelakang mereka. Jika para penguasa tersebut memerintahnya dalam ketaatan
maka dia melaksanakannya sesuai dengan kemampuannya dan jika dia tidak mampu
melaksanakannya dia meminta maaf. Tapi apabila dia memerintah untuk berbuat
maksiat maka diapun tidak mentaati mereka. Apabila terjadi fitnah diantara
mereka diapun tinggal dirumahnya serta tidak ikut berkomentar maupun ikut andil
didalamnya. Barangsiapa yang memiliki sifat-sifat seperti diatas maka dia
berada diatas jalan yang lurus –insya Allah-". [13]
6. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata: "Wahai
Syu'aib (bin Harb), tidak bermanfaat apa yang engkau tulis hingga engkau
berpendapat akan bolehnya sholat dibelakang penguasa yang baik maupun yang
dzalim dan berjihad (bersama mereka) sampai hari kiamat serta bersabar dibawah
kekuasaan pemimpin yang dzalim maupun yang baik." [14]
7. Imam Bukhari rahimahullahu berkata: "Tidak boleh
melengserkan penguasa (kaum muslimin) karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam: "Tiga perkara yang hati seorang muslim tidak akan dengki: Mengikhlaskan
amal karena Allah, mentaati penguasa dan tetap bersama jama'ah kaum
muslimin…" [15] kemudian beliau menguatkan hal diatas dengan firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu."." [16]
8. Sahl bin Abdillah At-Tasturi rahimahullahu pernah ditanya:
Kapan seseorang itu mengetahui dirinya telah berada diatas sunnah wal jamaah?
Beliau menjawab (diantaranya): "Dia tidak meninggalkan shalat berjamaah
dibelakang penguasa yang baik maupun dzalim." [17]
9. Ka'ab bin Ahbar rahimahullahu berkata: "Penguasa
adalah naungan Allah di muka bumi ini, apabila dia melakukan ketaatan kepada
Allah maka baginya pahala dan wajib bagi kalian semua untuk bersyukur (kepada
Allah). Dan apabila dia berbuat maksiat kepada Allah maka baginya dosa dan
wajib bagi kalian untuk bersabar. Janganlah kecintaan kalian kepadanya membuat
kalian terjerumus kedalam kemaksiatan dan janganlah kebencian kalian kepada
penguasa menyebabkan kalian memberontak terhadapnya." [18]
10. Imam Barbahari rahimahullahu berkata: "Ketahuilah
bahwa kedzaliman penguasa tidak mengurangi kewajiban Allah yang telah
diwajibkan lewat lisan Rasul-Nya. Kedzalimannya untuk dirinya sendiri, adapun
ketaatanmu bersamanya pasti akan disempurnakan (pahalanya) –insya Allah ta'ala-
yaitu shalat berjama'ah, shalat jum'at dan berjihad bersamanya. Setiap ketaatan
maka bergabunglah bersamanya dan bagimu niatmu. Jika engkau melihat seseorang
mendoakan penguasa dengan kejelekan, maka ketahuilah dia adalah pengekor hawa
nafsu. Dan apabila engkau melihat seseorang mendoakan pemimpin dengan kebaikan
maka ketahuilah dia adalah ahlu sunnah –insya Allah-.
Fudhail bin 'Iyadh rahimahullahu berkata: "Seandainya
aku mempunyai doa yang mustajab pasti akan kuberikan kepada pemimpin".
Lalu beliau pun ditanya: Wahai Abu Ali, jelaskan kepada kami ucapan anda ini,
Beliau berkata: "Apabila doa tersebut aku gunakan sendiri maka manfaatnya
untuk diriku saja, namun apabila aku berikan kepada pemimpin maka kebaikannya
akan meliputi para hamba dan seluruh negeri". Kita diperintahkan untuk
mendoakan mereka dengan kebaikan dan tidak diperintah untuk mendoakan mereka
dengan kejelekan meskipun mereka itu berbuat dzalim dan curang, karena
kedzaliman mereka untuk mereka sendiri tapi kebaikan mereka untuk diri mereka
dan kaum muslimin." [19]
-----------------------------
[1] Imam Nawawi rahimahullahu berkata: "Yang dimaksud
dengan ulil amri adalah yang diwajibkan oleh Allah ta'ala untuk mentaatinya
dari kalangan para penguasa. Ini adalah pendapat jumhur salaf dan khalaf dari
kalangan ahli tafsir, fuqaha' dan selain mereka. Tapi ada pula yang berpendapat
mereka adalah para ulama atau para umara' dan para ulama'…". (Syarah
Shahih muslim 12/427) Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: "Yang jelas
–wallahu a'lam- bahwa ulil amri itu mencakup para umara' dan ulama'".
(Tafsir Ibnu Katsir 1/518) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata:
"Ulil amri adalah mereka yang memerintah manusia, dan hal ini mencakup
para penguasa dan ahli ilmu. Setiap yang diikuti maka dia disebut ulil
amri". (Majmu' Fatawa 28/170).
[2] HR.Muslim.
[3] HR.Muslim
[4] HR.Muslim
[5] HR.Muslim
[6] HR.Muslim
[7] Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 12/544 dan As-Sunnah oleh
Al-Khallal 111
[8] Al-Musnad 7/131-132 oleh Imam Ahmad.
[9] Adabu Hasan Al-Bashri hal.121 oleh Ibnul Jauzi.
[10] Asy-Syari’ah 1/158 oleh Al-Ajurri.
[11] Al-Adabusy Syar'iyah 1/137 oleh Ibnu Muflih
[12] Syarhu I'tiqad ahli sunnah wal jama'ah 1/180-181 oleh
Al-Lalikai. Ucapan Imam Ahmad diatas juga diucapkan oleh Imam Ali Al-Madiini
rahimahullahu dalam Syahu I'tiqad hal.188-189.
[13] Asy-Syariah 1/371.
[14] Syarhu I'tiqad ahli sunnah wal jama'ah 1/173 oleh
Al-Lalikai.
[15] HR.Tirmidzi.
[16] Syarhu I'tiqad ahli sunnah 1/197.
[17] Idem 1/205
[18] An-Nasihah lirra-'i war ra'iyah oleh At-Tibrizi hal.65.
[19] Syarhus Sunnah 136.
Posting Komentar