DI MANAKAH ALLAH,
EMPAT IMAM MADZHAB SEPAKAT BAHWA
ALLAH BERADA DI ATAS LANGIT
Sikap Keras Abu Hanifah
Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah
Imam Abu Hanifah mengatakan
dalam Fiqhul
Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari
keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”
Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin
Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar–[Syaikh Al Albani rahimahullah memberikan pelajaran cukup
berharga dalam Mukhtashor Al ‘Uluw, perkataan Adz Dzahabi di sini menandakan
bahwa kitab Fiqhul Akbar bukanlah milik Imam Abu Hanifah, dan ini berbeda
dengan berbagai anggapan yang telah masyhur di kalangan Hanafiyah. (Lihat Mukhtashor
Al ‘Uluw, hal.
136)], beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء
أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق
سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في
السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق
بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu Hanifah
mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah
Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang
tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas
‘Arsy”.[ QS. Thaha: 5.] Dan
‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata
bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak
mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas
mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia
kafir.”[ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136,
Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995.]
Imam Malik bin Anas, Imam Darul
Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit
Dari Abdullah bin Ahmad bin
Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad
mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa
Imam Malik bin Anas mengatakan,
الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
“Allah berada di atas langit.
Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari
ilmu-Nya.”[ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 138.]
Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya
At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,
جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن
على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه
الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه
غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به
فأخرج
“Suatu saat ada yang mendatangi
Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala
berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas
‘Arsy”[ QS. Thaha: 5.].
Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah
melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang
ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun
terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ
مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ
بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak
mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap
sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’
adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang
tersebut diperintah untuk keluar.[ Lihat Al ‘Uluw
lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.
378.]
Inilah perkataan yang shahih dari
Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan.
Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.
Imam Asy Syafi’I yang menjadi
rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini
Allah berada di atas langit
Syaikhul Islam berkata bahwa
telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh,
beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah
Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah
memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau
berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا
عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار
بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه
في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء
وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang
aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh
Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang
berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad
adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah
berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu
Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala
turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah
menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.[ Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula
dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.165]
Imam Ahmad bin
Hambal Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya
Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan
dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah
banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau
disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan
Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal
ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di
akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”[ Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 176. Lihat pula
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189.]
Imam Ahmad bin Hambal pernah
ditanya,
ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من
نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد
علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض
“Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
Yang dimaksud dengan
kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang
nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi.
Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan
ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.
Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”
Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa
Al Ghadadiy, beliau berkata,
قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل
فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على
العرش و لايخلو منه مكان
Imam Ahmad bin Hambal pernah
ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas
‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di
setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah
berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”[ Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116]
Abu Bakr Al Atsrom mengatakan
bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam
Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya
padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa mengetahui
Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang tujuh,
di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
Tidak Perlu Disangsikan Lagi
Itulah perkataan empat Imam
Madzhab yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa Allah berada di atas
langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah ijma’ yaitu
kesepakatan atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa aqidah
ini perlu diragukan oleh orang yang jauh dari kebenaran?
Ini bukti ijma’ ulama yang
dibawakan oleh Ishaq bin Rohuwyah.
قال أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي حدثنا محمد بن الصباح
النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود قال قال إسحاق بن راهويه قال
الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل
شيء في أسفل الأرض السابعة
“Abu Bakr Al Khollal mengatakan,
telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada
kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada
kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah
berkata, “Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas
‘Arsy”[ QS.
Thaha: 5.]. Para ulama
sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap
tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di
bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.[ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.]
Adz Dzahabi rahimahullah ketika
membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan,
اسمع ويحك إلى هذا الإمام كيف نقل الإجماع على هذه المسألة كما
نقله في زمانه قتيبة المذكور
“Dengarkanlah perkataan Imam yang
satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama)
mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di
masanya.”[ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 194.]
Sanggahan: Abu Salafy Cuma Asal
Nuduh
Kami sedikit mencuplik ucapan
beliau dalam postingan di blognya dengan judul “Kaum Mujassimah Berbohong Atas
Nama Imam Malik”. Beliau membawakan nukilan berikut ini ketika menerangkan
ucapan Imam Malik di atas.
Ibnu Lubbân dalam menafsirkan
ucapan Imam Maliki di atas mengatakan, seperti disebutkan dalam Ithâf as Sâdah
al Muttaqîn,2/82:
كيف غير معقول أي كيف من صفات الحوادث وكل ما
كان من صفات الحوادث فإثباته في صفات الله تعالى ينافي ما يقتضيه العقل فيجزم
بنفيه عن الله تعالى ، قوله : والاستواء غير مجهول أي أنه معلوم المعنى عند أهل
اللغة ، والإيمان به على الوجه اللائق به تعالى واجب ؛ لأنه من الإيمان بالله
وبكتبه ، والسؤال عنه بدعة ؛ أي حادث لأن الصحابة كانوا عالمين بمعناه اللائق بحسب
وضع اللغة فلم يحتاجوا للسؤال عنه ، فلما جاء من لم يحط بأوضاع لغتهم ولا له نور
كنورهم يهديه لصفات ربه يسأل عن ذلك، فكان سؤاله سببا لاشتباهه على الناس وزيغهم
عن المراد.
“Kaif tidak masuk akal, sebab ia
termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka
jika ditetapkan menjadi sifat –ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya
berdasarkan hukum akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari
Allah –ta’ala-. Ucapan beliau, “Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah
diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya. Beriman sesuai dengan makna yang layak
bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab ia termasuk beriman kepada Allah dan
kitab-kitab-Nya. Dan “bertanya tentangnya adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang
dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa sahabat, mereka sudah mengetahui
maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya mereka tidak
butuh untuk menanyakannya. Dan ketika datang orang yang tidak menguasai
penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat
yang akan membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah
pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia
dan penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.”
Diriwayatkan juga bahwa Imam
Malik berkata:
الرحمن على العرش استوى كما وصف به نفسه ولا
يقال كيف ، وكيف عنه مرفوع…
“Ar Rahmân di atas Arys
beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan:
Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf as
Sâdah,2/82, Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72)
Pernyataan di atas benar-benar
tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah!
Penulis berkata, “Perkataan Imam
Malik itu benar adanya. Begitu pula penjelasan dari Ibnu Lubban itu benar.
Maksud perkataan mereka berdua adalah bahwa makna Istiwa’ itu sudah diketahui,
sedangkan bagaimana dan hakekat Allah itu beristiwa’ itu tidak diketahui karena
memang kita tidak diberitahu tentang hal tersebut. Kami khawatir abusalafy sendiri
sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Imam Malik dan Ibnu Libban.
Sampai-sampai dalam tulisan lain abusalafy menuduh yang bukan-bukan. Dalam
tulisan lain yang abusalafy berkata:
Itulah yang benar-benar terjadi!
Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan meyakinkan kaum Muslimin bahwa
Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh
delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka
beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk
binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang
menggambarkan Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat
makhluk-Nya..
Penulis menjawab, “Siapa yang
katakan bahwa sifat Allah itu dapat digambarkan bentuknya? Mana buktinya?”
Beliau juga menuduh kami, “Allah duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh
delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka
beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk
binatang lain”. Penulis menjawab, “Mana buktinya kami pernah menyatakan
demikian? Dalam kitab mana? Ini sungguh tuduhan dan klaim dusta yang
mengada-ada. Beliau pun tidak berani menunjukkan bukti dari tuduhan yang beliau
bawakan.”
Semoga beliau bisa membedakan
menetapkan sifat Allah dan menyebutkan bagaimana hakekat sifat tersebut. Coba
renungkan dengan baik-baik perkataan Ishaq bin Rohuwyah yang pernah kami
bawakan di postingan pertama serial ini. Beliau rahimahullah mengatakan, “Yang disebut
tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), jika kita mengatakan, ‘Tangan Allah sama dengan
tanganku atau pendengaran-Nya sama dengan pendengaranku.’ Inilah yang disebut tasybih. Namun jika kita mengatakan
sebagaimana yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki tangan,
pendengaran dan penglihatan; dan kita tidak sebut,
‘Bagaimana
hakikat tangan Allah, dsb?’ dan tidak pula kita katakan,
‘Sifat
Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan Allah sama dengan tangan kita)’; seperti ini tidaklah
disebut tasybih. Karena ingatlah Allah Ta’ala
berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuro: 11)[ Lihat
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 67.]
Jadi ingatlah bahwa menyatakan
Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh bukan
berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Namun kita yakini sifat Allah
itu jauh berbeda dengan makhluk-Nya, karena itulah perbedaan Allah yang
memiliki sifat kemuliaan dan makhluk yang selalu dipenuhi kehinaan. Itulah
memang karakter busuk dari Jahmiyah, asal menuduh yang bukan-bukan. Bagi setiap
orang yang menetapkan sifat Allah, maka dituduhlah Mujassimah. Jauh-jauh hari,
Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni telah mengisyaratkan,
فالمعتزلة والجهمية ونحوهم من نفاة الصفات
يجعلون كل من أثبتها مجسما مشبها ومن هؤلاء من يعد من المجسمة والمشبهة من الأئمة
المشهورين كمالك والشافعي وأحمد وأصحابهم كما ذكر ذلك أبو حاتم صاحب كتاب الزينة
وغيره
“Mu’tazilah, Jahmiyah dan
semacamnya yang menolak sifat Allah, mereka menyebut setiap orang yang
menetapkan sifat bagi Allah sebagai mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di
antara mereka menyebut para Imam besar yang telah masyhur (seperti Imam Malik,
Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut setia mereka) sebagai mujassimah atau
musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebagaimana hal ini
disebutkan oleh Abu Hatim, penulis kitab Az Zinah dan ulama lainnya.”[ Minhajus Sunnah Nabawiyah fii Naqdi Kalamisy Syi’ah
wal Qodariyah, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 2/44, Muassasah Qurthubah,
cetakan pertama, tahun 1406 H.]
Itulah tuduhan Jahmiyah. Kami
tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al
Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah, “Metode kami (dalam menetapkan sifat
Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’
(konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka
(para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah
beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa
melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil
(memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan
makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari
Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Allah
menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di bumi ini
bersama makhluk-Nya.”[ Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim
Al Haroni, 5/60, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.]
Semoga tulisan kali ini bias
sebagai renungan bagi orang yang mencari kebenaran. Nantikan serial
selanjutnya. Kami akan menyebutkan perkataan ulama Ahlis Sunnah yang menyanggah
pemahaman Jahmiyah semacam abusalafy yang menyatakan “Allah itu ada tanpa
tempat”. Semoga Allah mudahkan.
Alhamdulillahilladzi bi
ni’matihi tatimmush sholihaat.
Diselesaikan di Pangukan, Sleman,
12 Rabi’ul Akhir 1431 H (27/03/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
(Abu Rumaysho Al Ambony)
tes
BalasHapus