Segala puji hanya kembali dan milik
Allah Tabaroka wa Ta’ala, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan
diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad bin
Abdillah Shollallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarga dan para
sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.
KEDUDUKAN WUDHU DALAM SHOLAT
Wudhu merupakan suatu hal yang tiada
asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah mengetahuinya bahkan telah
mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita lakukan selama
bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan
apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena
suatu hal yang telah menjadi konsekwensi dari dua kalimat syahadat bahwa ibadah
harus ikhlas mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam. Demikian juga telah masyhur bagi kita bahwa wudhu
merupakansyarat sah sholat [1], yang mana jika syarat tidak terpenuhi maka
tidak akan teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut.
Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam,
« لاَ
تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
»
“Tidak diterima sholat orang yang
berhadats sampai ia berwudhu”.[2]
Demikian juga dalam juga Allah
Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita dalam KitabNya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki”. (QS Al
Maidah [5] : 6).
Maka marilah duduk bersama kami
barang sejenak untuk mempelajari shifat/tata cara wudhu Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam.
PENGERTIAN WUDHU
Secara bahasa wudhu berarti
husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu untuk sholat dikatakan sebagai
wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan memperindahnya [3]. Sedangkan
pengertian menurut istilah dalam syari’at, wudhu adalah peribadatan kepada
Allah ‘azza wa jalla dengan mencuci empat anggota wudhu [4] dengan tata
cara tertentu. Jika pengertian ini telah dipahami maka kita akan mulai
pembahasan tentang syarat, hal-hal wajib dan sunnah dalam wudhu secara ringkas.
TATA CARA WUDHU SECARA GLOBAL
Adapun tata cara wudhu secara ringkas
berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari Humroon
budak sahabat Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu [5],
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى
عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى
يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ
فِى الْوَضُوءِ ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ ، وَاسْتَنْشَقَ ، وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ
وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ
، ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلاَثًا ، ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله
عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا وَقَالَ « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى
هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ
لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Humroon -bekas budak Utsman bin
Affan–, suatu ketika ‘Utsmanmemintanya untuk membawakan air wudhu (dengan
wadahpent.), kemudian iatuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangannya.
Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan
kanannya ke dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan
beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian)
membasuh kedua tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu
kepalanya (sekali sajapent.) kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga
kali, kemudian beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam berwudhu dengan wudhu yang semisal ini dan beliau shallallahu ‘alaihi
was sallam mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu dengan wudhu semisal ini
kemudian sholat 2 roka’at (dengan khusyuked.)dan ia tidak berbicara di antara wudhu
dan sholatnya[6] maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”[7].
Dari hadits yang mulia ini dan
beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai berikut [8],
1. Berniat wudhu
(dalam hati) untuk menghilangkan hadats.
2. Mengucapkan
basmalah (bacaan bismillah).
3. Membasuh dua
telapak tangan sebanyak 3 kali.
4. Mengambil air
dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung untuk
berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung). Kemudian
beristintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3 kali.
5. Membasuh
seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot sebanyak 3 kali.
6. Membasuh
tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali
kemudian dilanjutkan dengan yang kiri.
7. Menyapu
seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu
ditarik lagi ke depan, dilakukan sebanyak 1 kali, dilanjutkan menyapu bagian
luar dan dalam telinga sebanyak 1 kali.
8. Membasuh kaki
kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali
kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.
SYARAT-SYARAT WUDHU [9]
Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat wudhu ada tujuh [10], yaitu:
1. Islam,
2. Berakal,
3. Tamyiz [11],
4. Berniat [12], (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut[13],pent.)
5. Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara yang haram,
6. Telah beristinja’[14] & istijmar[15] lebih dulu (jika sebelumnya memiliki keharusan untuk istinja’ dan istijmar dari hadats),
7. Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.
Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah ma’ruf dikalangan kaum muslimin.
WAJIB WUDHU
1. Membaca
bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu
‘alaihi was sallam,
« لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ
وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ »
“Tidak ada sholat bagi orang yang
tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah
Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu”.[16]
2. Membasuh
wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalahberkumur-kumur, istinsyaq dan
istintsar[17]. Para ‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah
mulai dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah
jenggot dan batas kiri kanan adalah telinga[*][18].
Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq
adalah sebagaimana yang dikatakanAl Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah,
“Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke ujungnya, sedangkan
istintsar adalah kebalikannya”[19]. Dalil tentang hal ini sebagaimana yang firman
Allah ‘azza wa jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah”. (QS Al Maidah
[5] : 6).
Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh[20]
perintah dalam perkara ibadah memberikan konsekwensi wajib. Maka membasuh wajah
dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya
berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang memerintahkan
kita untuk membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari
wajah. Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ
بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ
»
“Jika salah seorang dari kalian
hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya dengan air kemudian
beristintsarlah”.[21]
Dalil khusus dalam masalah
kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« إِذَا
تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ »
“Jika engkau hendak wudhu, maka
berkumur-kumurlah”[22].
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
rohimahullah mengatakan, “Cara berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar
dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk
berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar”.[23]
3. Menyela-nyelai
jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,
كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ
كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ وَقَالَ « هَكَذَا أَمَرَنِى رَبِّى
عَزَّ وَجَلَّ »
“Merupakan kebiasaan (Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallampent. ) jika beliau akan berwudhu, beliau
mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnyapent) sampai
ketenggorokannya kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau
mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku”[24].
Dan cara menyela-nyelai jenggot
adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di atas
yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah [25].
4. Membasuh
kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”. (QS Al
Maidah [5] : 6).
Demikian juga hadits Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam,
« ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى
الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا »
“Kemudian beliau membasuh
tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian membasuh
tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali”[26].
5. Menyapu[27]
kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian kepala[28]. Dalilnya
adalah firman Allah ‘azza wa jalla,
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“Dan sapulah kepalamu”. (QS Al
Maidah [5] : 6).
Perintah dalam ayat ini menunjukkan
hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini diklaim ijma’ oleh An Nawawi
Asy Syafi’i rohimahullah[29]. Demikian juga sabda Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam,
« ثُمَّ
مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ
رَأْسِهِ ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ
الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ »
“Kemudian beliau membasuh mengusap
kepala dengan tangannya,(dengan carapent.) menyapunya ke depan dan ke belakang.
Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya ditarik ke belakang sampai ke
tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya” [30].
Hadits ini menunjukkan bagaimana cara
mengusap kepala [31] yang Allah perintahkan dalam surat Al Maidah ayat 6 di
atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian kepala yang dihusap
dalam ayat di atas adalahseluruh kepala/rambut [32] dan inilah pendapat Al Imam
Malik rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam Al
Bukhori rohimahullahsebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala
bukanlah hanya sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang.
Sedangkan dalil bahwa menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala
adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu
was salam,
« الأُذُنَانِ
مِنَ الرَّأْسِ »
“Kedua telinga merupakan bagian
dari kepala”.[33]
Lalu cara menyapu kedua telinga
adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« ثُمَّ
مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ بَاطِنِهِمَا بِالسَّبَّاحَتَيْنِ وَظَاهِرِهِمَا بِإِبْهَامَيْهِ »
“kemudian beliau menyapu kedua
telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi luarnya dengan kedua
jempolnya”.[34]
Adapun untuk cara mengusap kepala dan
kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama seperti untuk laki-laki
sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah
demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan dinukil
oleh Al Bukhori rohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin
Musayyib rohimahullah[35].
6. Membasuh
kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala,
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“(basuh) kaki-kaki kalian sampai
dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6)
Demikian juga hadits Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam,
« ثُمَّ
غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ »
“Kemudian beliau membasuh kedua
kakinya hingga dua mata kaki”[36].
Membasuh kedua mata kaki hukumnya
wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk perintah, dan hukum asal
perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara membasuhnya adalah
sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,
« إِذَا
تَوَضَّأَ دَلَكَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ بِخِنْصَرِهِ
»
“Jika beliau shallallahu ‘alaihi
was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua kakinya dengan dengan
jari kelingkingnya”[37].
Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah,
namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al
‘Amir Ash Shon’anirohimahullah [38].
7. Muwalah
Muwalah [39] adalah berturut-turut
dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian membasuh anggota wudhu
lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh pent.) mengering
dalam kondisi/waktu normal[40].
Dalil wajibnya hal ini adalah firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ
إِلَى الْمَرَافِقِ
“Wahai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku”. (QS Al Maidah [5] : 6).
Sisi pendalilannya sebagai berikut,
jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat inipent.) merupakan suatu
yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan[41]. Adapun dalil dari Sunnah adalah
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan tidak memisahkan
membasuh anggota wudhu (yang satu dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu
‘anhu
أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ
فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم-
فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى
“Bahwasanya ada seorang laki-laki
berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh sebesar kuku pada kakinya.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhupent.) perbaguslah wudhumu”.[42]
Hal ini merupakan pendapat Imam
Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al Imam Ahmad dalam
riwayat yang masyhur dar beliau [43].
SUNNAH WUDHU
1. Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« لَوْلاَ
أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ »
“Seandainya jika tidak memberatkan
ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap hendak
berwudhu”[45].
2. Mencuci kedua
tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih ditekankan ketika
bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang menunjukkan
bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallam,
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى
عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى
يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ….. ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ
النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا
“Dari Humroon budaknya Utsman bin
Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya
untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari
wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak tiga
kali……kemudian beliau berkata, “Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was
sallam berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini”[46].
Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan
bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu ‘anhu melakukannya karena melihat
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melakukannya. Semata-mata perbuatan
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang dicontoh para sahabat
menunjukkan hukum anjuran atau sunnah[47]. Kemudian dalil yang menunjukkan
wajibnya mencuci tangan ketika bangun dari tidur adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam,
«وَإِذَا
اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا
فِى وَضُوئِهِ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ »
“Jika salah seorang dari kalian
bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan
tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam”.
Jika ada yang bertanya apakah hal ini
hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum? Maka jawabannya adalah
sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu
semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika
ia tidur. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah,demikian
juga mayoritas ‘ulama[48].
3. Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq
dan berkumur-kumurketika tidak sedang berpuasa[49]. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu
‘alaihi was sallam,
« بَالِغْ
فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
»
“Bersungguh-sungguhlah dalam
beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[50].
Mendahulukan membasuh anggota wudhu
yang kanan. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِى طُهُورِهِ إِذَا
تَطَهَّرَ »
“Adalah kebiasaan Nabi shollallahu
‘alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan kanan dalam thoharoh
(berwudhupent.)”[51].
Membasuh anggota wudhu sebanyak 2
kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat
Abdullah bin Zaid,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى
الله عليه وسلم – تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu
‘alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota wudhunya sebanyakpent.) dua
kali-dua kali.[52]”
Dalil bahwa beliau membasuh anggota
wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang diriwayatkan Humroon dari tentang
wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika melihat cara wudhu Nabi
shollallahu ‘alaihi was sallam,
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى
عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى
يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ…. ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ
ثَلاَثًا…
Dari Humroon budaknya Utsman bin
Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya
untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari
wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak 3
kali…kemudian diamembasuh wajahnya sebanyak 3 kali….[53]
Hal ini sering beliau lakukan pada
anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan salah satu riwayat
hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga dalam
shohihain,
ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ
رَأْسَهُ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً
“Kemudian beliau memasukkan
tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah depan dan belakang
sebanyak 1 kali”[54].
Namun demikian dianjurkan juga
menyapu kepala sebanyak tiga kali[55], namun hal ini dianjurkan dengan catatan
tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits yang
diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu
ketika beliau melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا
ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- تَوَضَّأَ هَكَذَا
“Beliau (Utsman bin Affan
pent.)menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian
beliau berkata, “Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu
dengan wudhu seperti ini”[56].
Tertib, yang dimaksud tertib di sini
adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya (urutan yang ada dalam ayat
wudhupent.)[57]. Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah sunnah bukan
wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindi yrodhiyallahu
‘anhu,
أُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ تَمَضْمَضَ
وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا
ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا
“Rosulullah shallallahu ‘alaihi
was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga kali kemudian
berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali,
kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian
luar maupun dalam”[58].
Berdo’a ketika telah selesai
berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« مَا
مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوُضُوءَ ثُمَّ
يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ
وَرَسُولُهُ إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ
أَيِّهَا شَاءَ ».
“Tidaklah salah seorang dari
kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian membaca, “Aku bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Nabi
Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu
surga yang jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[59].
At Tirmidzi menambahkan lafafdz,
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ
التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Ya Allah jadikanlah aku termasuk
orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk orang-orang yang selalu
mensucikan diri”[60].
Sholat dua raka’at setelah wudhu. Hal
ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,
« مَنْ
تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا
نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
»
“Barangsiapa berwudhu sebagaimana
wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka’at(dengan khusyuked.) setelahnya dan ia
tidak berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni seluruh dosanya yang
telah lalu”[62].
Demikianlah akhir tulisan ini,
mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan ‘amal dan sebagai tambahan
ilmu bagi pembaca sekalian serta berbuah ‘amal bagi kita semua. Allahu a’lam
bish showab
___________________________________________________________
Ketika rintik-rintik hujan membasahi
ranah pogung, 1 Dzul Hijjah 1430 H
Penulis: Aditya Budiman
Muroja’ah: M. A. Tuasikal
________________________________________
[1] Bahkan hal ini diklaim ijma’oleh
An Nawawi rohimahullah [lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi
rohimahullah hal. 98/III cetakan Darul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq dari
Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa]
[2] HR. Bukhori no. 135, Muslim no.
225.
[3] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih
Muslim oleh An Nawawi rohimahullahhal. 95/III. Hal senada juga dikatakan oleh
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniyrohimahullah dalam Fathul Baari hal. 214/I.
[4] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin rohimahullah mengatakan, “Penyebut empat anggota wudhu dalam hal ini
hanyalah maksudnya adalah penyebutan sebagian namum yang diinginkan adalah
seluruh anggota wudhu”. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 110/I,
terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.]Atau bisa kita katakan sebagai
majas part pro toto dalam istilah bahasa Indonesia.
[5] Hadits ini merupakan salah satu
hadits pokok dalam masalah tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.
[6] Akan datang penjelasannya insya
Allah.
[7] HR. Bukhori no. 159,Muslim no.
226.
[8] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah oleh
Abu Maalik Kamaal bin Sayyid Salimhal. 111/I, terbitan Maktabah Tauqifiyah.
[9] Kami menempuh cara menulis seperti
ini (membedakan mana perkara yang sunnah dan wajib) bukanlah berarti tidak
ingin meniru wudhu Nabi secara menyeluruh akan tetapi agar ‘amal kita bisa
memiliki nilai tambah jika berhadapan dua hal yang sama-sama baik, misalnya hal
yang wajib dan sunnah ataupun 2 hal yang sunnah namun salah satu lebih
ditekankan.Allahu A’lam.
[10] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal.
24 oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah
cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.
[11] Tolak ukur tamyiz adalah sebagaimana
yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam adalah berumur 7 tahun dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 495 dan dinyatakan hasan shohih
oleh Al Albanirohimahullah dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud.
[12] Yang kami maksudkan dengan niat
adalah azam/keinginan yang ada dalam hati untuk berwuhu karena ingin
melaksanakan perintah Allah dan RosullNya shallallahu ‘alaihi was sallam, Ibnu
Taimiyah rohimahullahmengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati
bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ‘ulama kaum muslimin, semisal
dalam ibadah thoharoh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad,
dan lain-lain. Seandainya ada seorang yang melafadzkan niat dan hal itu berbeda
dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau
tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di
lisannya”.[lihat Al Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah, dengan tahqiqHusnain
Muhammad Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon]. yang
senada juga dikatakan oleh Al Imam An Nawawi Asy Syafi’irohimahullah lihat
Qowaid wa Fawaid minal ‘Arbain An Nawawiyah olehSyaikh Nadzim Muhammad Shulthon
hal. 30 cetakan Darul Hijroh, Riyadh, KSA demikian juga beliau isyaratkan dalam
Kitabnya At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an hal. 50 dengan tahqiq dari Syaikh
Abu Abdillah Ahmad bin Ibrohim Abul ‘Ainain cetakan Maktabah Ibnu Abbas Kairo,
Mesir. Mudah-mudahan dengan penjelasan ringkas ini pembaca bisa memahami
defenisi niat yang benar.
[13] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil
Mustaqni’ hal. 127/I
[14] Membersihkan sesuatu yang keluar
dari dua jalur kemaluan dengan air. [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’
hal. 69/I ]
[15] Membersihkan sesuatu yang keluar
dari dua jalur kemaluan dengan tiga buah batu atau dengan selainnya [lihat
Manjaahus Salikin oleh Syaikh Abdurrohman bin Nashir As Sa’diy rohimahullah
hal. 38 cetakan Darul Wathon, Riyadh, KSA].
[16] HR. Ibnu Hibban no. 399, At
Tirmidzi no. 26, Abu Dawud no. 101, Al Hakim no. 7000, Ad Daruquthni no. 232.
Hadits ini dinilai shohih oleh Al Albani rohimahullah dalam Shohihul Jami’ no.
7514, bahkan Syaikh Abu Ishaq Al Huwainiy membuat satu juz (kitab yang khusus
membahas satu hadits) dan beliau menshohihkan hadits ini. Akan tetapi status
hadits ini diperselisihkan para ulama di antara yang mendhoifkannya ‘Ali bin
Abu Bakr Al Haitsami rohimahullah dalam Majmu’ Az Zawaid hal. 780/IX terbitan
Darul Fikr, Beirut dan penulis Shohih Fiqhis Sunnah dalam takhrij beliau untuk
hadits ini.
[17] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab
was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah
hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[18] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil
Mustaqni’ hal. 131-132/I, dan tambahan dari Shohih Fiqhis Sunnah hal. 113/I.
[19] Lihat Fathul Baari hal. 78/X.
[20] Lihat Mandzumah Ushulil Fiqh wa
Qowa’idih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 103
cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh,KSA.
[21] HR. Muslim no. 237.
[22] HR. Abu Dawud no. 144, hadits
ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij Beliau untuk Sunan Abu
Dawud.
[23] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi
Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
rohimahullah hal. 10/I cetakan Ghiroos, Kuwait.
[24] HR. Abu Dawud no. 145, Al
Baihaqi no. 250 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 92.
[25] Lihat tanda [*] dalam tulisan
ini.
[26] HR. Bukhori no. 1832 dan Muslim
no. 226.
[27] Perbedaan antara
menghapus/menyapu dan membasuh adalah bahwa pada menghapus/menyapu tidak ada
mengalirkan air ke tempat yang akan dihapus namun cukup dengan membasahi tangan
dengan air dan menyapukan tangan tersebut ke kepala. [Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala
Zaadil Mustaqni’ hal. 116/I.]
[28] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab
was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah
hal. 38 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[29] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih
Muslim oleh An Nawawi rohimahullahhal. 102/III.
[30] HR. Bukhori no. 185, Muslim 235.
[31] Namun merupakan sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi was sallam juga membasuhnya dari arah belakang ke depan.
Sebagaimana akan kami cantumkan haditsnya dalam pokok bahasan Membasuh anggota
wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali dalam tulisan ini insya Allah ta’ala.
[32] Lihat penjelasan masalah ini di
Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’hal. 117/I.
[33] HR. Abu Dawud no.134, At
Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 478, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan
shohih oleh Al Albani rahmatullah ‘alaihi dalamAsh Shohihah no. 36. Lihat juga
penjelasan tentang takhrij hadits ini dalamSubulus Salaam Al Mausulatu ilaa
Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 206/I dengan
tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy,
Riyadh, KSA. Di sini muhaqqiq kitab ini menjelaskan panjang lebar tentang
hadits ini yang kesimpulannya hadits ini shohih.
[34] HR. An Nasa’i no. 102,
dinyatakan hasan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Nasa’i.
[35] [lihat Al Majmu’ oleh An Nawawi
rohimahullah hal. 409/I Asy Syamilah]. Dan hal ini sesuai dengan kaidah fiqh
keumuman hukum dalam syari’at antara laki-laki dan perempuan selama tidak ada
dalil yang mengkhususkannya pada salah satu dari keduanya, [lihat Ma’alim
Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Syaikh DR. Muhammad bin Husain
bin Hasan Al Jaizaniy hafidzahullah hal. 418, cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh,
KSA].
[36] HR. Bukhori no. 185, Muslim no.
235.
[37] HR. Tirmidzi no. 40, Abu Dawud
no. 148, hadits ini dinyatakan shohiholeh Al Albani dalam takhrij beliau untuk
Sunan At Tirmidzi.
[38] Lihat Subulus Salaam Al
Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal.
196/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul
Jauziy, Riyadh, KSA.
[39] Lihat Shohih Fiqhis Sunnah hal.
121/I.
[40] Dalam kondisi/waktu normal
maksudnya adalah jika tidak ada angin yang berhembus, dalam kondisi cuaca yang
sangat panas (sehingga air wudhu dengan cepat mengering), atau sangat dingin.
[lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 120/I.]
[41] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil
Mustaqni’ hal. 119/I.
[42] HR. Mulsim no. 243.
[43] Lihat dari Shohih Fiqhis Sunnah
hal. 121/I.
[44] Al Amir Ash Shon’ani rohimahullah
mengatakan, “Siwak yang dimaksud dalam istilah para ulama adalah penggunaan
potongan kayu atau selainnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran kuning pada
mulut”. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 175/I],
lihat juga tulisan kami di www.alhijroh.co.cc dengan judul “siwak dan mewarnai
uban”.
[45] HR. Tirmidzi no. 22, Abu Dawud
no. 37, dinilai shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At
Tirmidzi.
[46] HR. Bukhori no. 159,Muslim no.
226.
[47] Lihat Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda
Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 124.
[48] Lihat Taudhihul Ahkaam min
Bulughil Maroom oleh Syaikh Abullah Alu Bassaam rohimahullah hal. 215/I cetakan
Maktabah Sawaadiy, Mekkah, KSA.
[49] Lihat penjelasan mengapa
perintah di sini tidak dimaknai wajib diTaudhihul Ahkaam min Bulughil Maroom
hal. 218/I.
[50] HR. Abu Dawud no. 2368, Al Hakim
no. 525 dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu
Dawud demikian juga Adz Dzahabi.
[51] HR. Bukhori 168, Muslim no. 268.
[52] HR. Bukhori 158.
[53] HR. Bukhori 164, Muslim no. 226.
[54] HR. Bukhori 186.
[55] Pendapat inilah yang dipilih
oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah di Ats Tsamrul
Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaabhal.11/I, demikian juga Syaikh DR. Abdul
Adzim bin Badawiy Al Kholafiyhafidzahullah Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah
hal. 41.
[56] HR. Abu Dawud no. 107 dan
dinyatakan hasan shohih oleh Al Albanirohimahullah dalam takhrij beliau untuk
Sunan Abu Dawud.
[57] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil
Mustaqni’ hal. 118/I.
[58] HR. Abu Dawud no. 121,
dinyatakan shohih oleh Al Albani rohimahullahdalam takhrij beliau untuk Sunan
Abu Dawud.
[59] HR. Muslim no. 234.
[60] HR. Tirmidzi no. 55 dan
dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Tirmidzi.
[61] An Nawawi rohimahullah
mengatakan, “yang dimaksud dengan tidak berbicara diantara keduanya yaitu tidak
berbicara dalam masalah dunia yang tidak ada hubungannya dengan sholat”. [lihat
Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 103/III]
[62] HR. Bukhori no. 159, Muslim no.
226.